Dalil-dalil dakwah

Dakwah, sebagaimana yang telah kami uraikan pengertiannya, merupakan salah satu aktivitas yang disyari’atkan oleh Allah Swt, bahkan termasuk dalam kategori yang difardhukan atas kaum muslim yang sudah terkena taklif hukum. Dalam al-Quran, banyak ayat-ayat yang memerintahkan kaum muslim untuk berdakwah baik perintah itu dinyatakan secara langsung maupun tidak langsung, secara jelas maupun hanya dengan isyarat. Di antara perintah yang langsung misalnya :
  •             
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Ali-imran [3] : 104)

Seruan ayat di atas ditujukan langsung kepada kaum mukmin. Hal ini diindikasikan oleh adanya wawu yang berkedudukan sebagai harf al’athaf yang menghubungkan perintah ini dengan ayat sebelumnya, yakni Qs. Ali-Imran [3] : 102. Sedangkan huruf lam pada kata waltakun adalah lam al-amar yang menunjukan makna perintah. Berkaitan dengan huruf min pada kata minkum, terdapat perbedaan pendapat dikalangan mufassir. Menurut sebagian mufassir seperti al-Baghawi, huruf “min“ pada ayat itu menunjukan pengertian lil bayan (sebagai penjelasan). Karena itu, frasa waltakum minkum sama artinya dengan walitakunu ummat[an] (hendaklah kalian menjadi umat). Alasannya, karena menurutnya aktivitas amar makruf nahi mungkar merupakan fardhu ’ain sebagaimana hadits Rasulullah saw;
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَالِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ
“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika ia tidak mampu, hendaklah dengan lisannya; jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya. Akan tetapi, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)

Akan tetapi menurut sebagian besar mufassir seperti al-Qurthubi, az-Zamakhsyari, asy-Syaukani, Imam Jalalain, dan az-Zuhaili, huruf “min“ tersebut adalah li al-tab’idh (menunjukan makna sebagian). Diantara alasannya, amar makruf nahi mungkar adalah fardhu kifayah yang tidak dapat dilakukan oleh setiap orang seperti orang yang kurang pengetahuannya.
Seandainya kita perhatikan susunan ayat di atas, tentu pendapat terakhir lebih sesuai. Sebab dalam pemaknaannya tidak memerlukan takwil dikarenakan frasa ayat itu sudah sangat jelas, yakni waltakun minkum ummah (hendaklah ada umat di antara kalian); bukan walitakunu ummah (hendaklah kalian menjadi umat).
Adapun berkaitan dengan kata ummah dalam ayat di atas, Imam Ath-Thabary (tafsir Ath-Thabary, juz 4/38) memaknai kata 'ummatun' sebagai 'jama'atun yang bermakna kelompok. Hal senada juga dikemukakan oleh Ibnu Katsir, bahwa secara lahiriyah ayat ini memerintahkan umat islam untuk mewujudkan suatu jamaah – (Ibnu Katsir menyebutnya firqah) – dari kalangan mereka yang secara khusus tugasnya : (1) mendakwahkan al-Khayr dan amar makruf nahi mungkar. Penafsiran seperti ini pula yang diamini oleh Muhammad Abduh bahwa umat disini adalah jamaah yang terdiri dari individu-individu yang memiliki ikatan yang menyatukannya sehingga mereka menjadi satu kesatuan kutlah (kelompok) yang lestari. Jadi, makna ayat di atas adalah hendaklah ada suatu jama'ah dari kalangan kaum muslimin, bukan hendaklah kaum muslimin menjadi suatu jama'ah.
Setelah diperintahkan untuk mewujudkan suatu jamaah (kelompok/organisasi,dsj) dari kalangan kaum muslim, dijelaskan pula kriteria aktivitas yang harus dilakukan oleh jamaah tersebut, yakni : (1) yad’una ila al-khayr (menyeru pada al-khayr); (2) waya’muruna bil ma’ruf wayan hauna ’an al-mungkar. Imam Ath-Thabary menafsirkan al-khayr sebagai islam berserta seluruh syari’ah yang disyariahkan Allah kepada hamba-Nya. Jadi, al-Khayr adalah Islam.
Adapun al-ma’ruf adalah segala sesuatu yang sesuai dengan aturan-aturan Islam, sebaliknya al-Mungkar adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan aturan-aturan Islam. Ibnu katsir menambahkan bahwa meskipun sudah ada jamaah yang khusus melakukan aktivitas dakwah, bukan berarti tidak ada lagi kewajiban bagi setiap individu melakukan aktivitas tersebut. Amar makruf nahi mungkar tetap diwajibkan kepada setiap individu sesuai dengan kemampuannya sebagaimana dinyatakan dalam hadits riwayat Muslim di atas. Dengan demikian, jelaslah bahwa tugas dari jamaah (kelompok/organisasi/partai) ini adalah menyeru kepada Islam dan amar makruf nahyi mungkar, sebagaimana yang disimpulkan oleh Sayyid Quthb.
Allah menutup ayat di atas dengan kalimah, waulaika hum al-muflihun (merekalah orang-orang yang beruntung). Jelas sekali, frasa ulaika merujuk kepada orang-orang yang tergabung dalam jamaah yang memiliki kriteria-kriteria di atas. Artinya, ungkapan ini memberikan dorongan kepada kaum muslim untuk ikut terlibat dalam jamaah yang memiliki karakteristik seperti yang disebutkan oleh ayat di atas, yakni menyeru kepada islam (dakwah ilal islam) dan amar makruf nahi mungkar.
Dapat disimpulkan bahwa ayat yang satu ini mengandung tiga hal : pertama, perintah yang langsung dan jelas mengenai kewajiban dakwah; kedua, perintah untuk mewujudkan adanya jamaah/kelompok dakwah dengan kriteria-kriteria yang ditentukan dalam ayat tersebut; ketiga, kewajiban untuk ikut terlibat dalam kelompok dakwah yang memiliki kriteria-kriteria sebagaimana disebut oleh ayat ini. Ini didasarkan oleh adanya kalimat pujian dari Allah berupa keberuntungan, sementara sesuai dengan kaidah ushul fiqh bahwa “setiap perbuatan yang dipuji oleh syari’at, diagungkan nilainya atau karena perbuatan itu sang pelaku mendapat pujian atau kabar gembira, atau syara’ menyenangi perbuatan itu sekaligus pelakunya, maka perbuatan itu terkategori diperintahkan.“
Adapun perintah yang jelas namun tidak secara langsung ditujukan kepada kaum muslim, di antaranya :
            
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.(qs. An-Nahl [16] : 125)
     •    
“…dan Serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.” (Qs. Al-Hajj : 67)

Dari segi objek dakwah, ayat di atas berlaku umum untuk sasaran dakwah siapa saja, muslim ataupun kafir, dan tidak hanya berlaku khusus sesuai dengan sabab nuzul-nya. Sebab, ungkapan yang ada memberikan pengertian umum, dimana setelah kata ud’u (serulah) tidak disebutkan siapa objek (maf’ul bih)-nya. Begitu pula dari segi siapa yang harus berdakwah (subjek), ayat ini juga berlaku umum. Ini sesuai dengan kaidah ushul, “al-‘Ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khushush as-sabab” (yang menjadi patokan adalah keumuman lapazh (ungkapan) bukan kekhususan sebab). Artinya, meskipun ayat ini awalnya adalah perintah Allah kepada Rasulullah saw, namun ia juga berlaku untuk kaum muslim keseluruhan, sebagaimana kaidah ushul, seruan Allah kepada Rasulullah berarti seruan pula kepada umatnya selama tidak ada qarinah (indikasi/dalil) yang mengkhususkan bahwa perintah itu hanya untuk Nabi saw. Dalam ayat di atas, qarinah tersebut tidak ada sehingga perintah berdakwah berlaku pula untuk kaum muslim.
Selain dalil-dalil al-Quran, terdapat pula hadits-hadits Nabi saw yang mewajibkan kaum muslim untuk berdakwah. Di antara hadits tersebut :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُوقَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَلِّغُوْاعَنِّيْ وَلَوْ أيَةً
“Dari Abdullah bin Amru r.a., bahwa Nabi saw.,bersabda, “Sampaikanlah dariku walau satu ayat....”(HR. Bukhari)

kalimat بَلِّغُوْا dalam hadits di atas merupakan shigat amar (perintah) yang mengindikasikan adanya tuntutan yang bersifat wajib. Ini berarti akitivitas menyampaikan (dakwah) merupakan sebuah kewajiban, terlepas dari berbagai bentuknya. Tidak disebutkannya objek perintah dalam hadits di atas menunjukan bahwa kewajiban itu berlaku umum kepada kaum muslim. Adapaun kalimat وَلَوْ أيَةً - sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy – dimaksudkan sebagai suatu jalan untuk mempercepat proses penyampaian ajaran Islam dari Rasulullah saw kepada semua pendengar (objek dakwah). Kalimat tersebut juga menunjukan betapa pentingnya dakwah sampai-sampai ketika baru menerima/mengetahui satu ayat saja, wajib untuk disampaikan kembali kepada orang lain (objek dakwah).
Demikianlah telah kami jelaskan dalil-dalil naqliy (al-Quran dan hadits) tentang status wajibnya dakwah bagi kaum muslim yang telah terkena taklif (terbebani) hukum.

Read More......

apa itu dakwah ?

Dakwah secara etimologi berasal dari kata da’a – yad’u – da’watan yang berarti mengajak, menyeru atau memanggil; sedangkan dakwah berarti seruan. Kata-kata “dakwah” sudah sangat khas di telinga umat Islam, sehingga para da’i akan dengan cepat dipahami sebagai orang-orang islam yang melakukan dakwah (syi’ar) Islam dalam berbagai bentuknya baik melalui aktivitas lisan (lisân al-hâl) maupun perbuatan (lisân al-maqâl).
Dalam Al-Qur'an, istilah dakwah dan kata yang terbentuk darinya disebutkan tidak kurang dari 213 kali. Suatu sebutan yang tidak sedikit berkaitan dengan perintah ajakan kepada ajaran Islam. Di samping itu, Al-Qur'an juga pun menggunakan istilah-istilah lain yang berkaitan dengan dakwah ini, seperti istilah tabligh (penyampaian), tarbiyah (pendidikan), ta'lim (pengajaran), tabsyir (penyampaian berita gembira), tandzir (penyampaian ancaman), tawsiyah (nasihat), tadzkir dan tanbih (peringatan). Semua substansi istilah-istilah tersebut adalah adanya pesan moral dan misi suci tentang nilai kebenaran, kebaikan, dan kesucian sebagai hidayah ilahi yang perlu terus menerus diperjuangkan.
Selain makna etimologi, dakwah juga memiliki makna terminologi (syar’i). Secara syar’i, dalam banyak ayat, dakwah dapat dimaknai sebagai seruan-seruan yang sarat dengan nilai-nilai Islam. Dalam Ali Imran 104 dinyatakan sebagai yad'uuna 'ila al khoir, dalam al Ashr tawasshou bil haq, dalam Fusshilat 33 dinyatakan dengan daa'a ila Allah, bahkan Allah menyifati generasi manusia terbaik sebagai orang-orang yang ta'muruuna bil ma'ruf wa tanhauna 'an al munkar. Semua kata daa'a dan kata turunannya disandarkan pada Allah, al khoir, al ma'ruf. Bahkan secara tegas dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menjelaskan bahwa makna yad'uuna 'ilaa al khoir adalah ittibaa'i Al Qur'an wa as sunnatiy (mengikuti Al Qur'an dan sunnahku). Ini menunjukkan bahwa da’wah haruslah da’wah ila al Islam, artinya menyeru umat manusia baik muslim maupun non-muslim untuk hidup dibawah naungan Islam.
Dalam konteks terminologi (istilah), terdapat beberapa rumusan definisi dakwah yang dikemukakan oleh para pakar. Syaikh Ali Mahfudz menyatakan, dakwah adalah memotivasi manusia untuk berbuat kebajikan, mengikuti petunjuk, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, agar mereka memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. pendapat ini selaras dengan pendapat al-Ghazali, bahwa amr ma'ruf nahi mungkar adalah inti gerakan dakwah dan penggerak dalam dinamika masyarakat Islam. A. Hasjmy, dakwah adalah mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan akidah dan syariah Islam yang terlebih dahulu diyakini dan diamalkan oleh pendakwah itu sendiri.
Syekh al-Babiy al-Khuli mendefinisikan dakwah sebagai upaya memindahkan situasi manusia kepada situasi yang lain yang lebih baik. Situasi yang dimaksud mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik ekonomi, sosial, budaya, politik, pendidikan, dan sebagainya. Hal senada juga dikemukakan oleh Hafizh Abdurrahman bahwa dakwah merupakan usaha untuk mengubah keadaan yang rusak, yang tidak Islami, menjadi lebih baik sesuai dengan Islam. Dakwah dalam pengertian ini sejalan dengan apa yang disabdakan oleh Nabi saw :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَالِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ
“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika ia tidak mampu, hendaklah dengan lisannya; jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya. Akan tetapi, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)

Dalam hadits tersebut, Nabi saw tidak bersabda: “…hendaklah ia menghilangkan atau melenyapkan.”Sebaliknya, beliau saw memerintahkan “hendaklah ia mengubahnya.” Ini berarti seakan-akan nabi hendak mengatakan kepada umatnya agar mengubah kemungkaran itu secara tuntas, yakni dengan menghilangkan kemungkaran itu seraya menegakkan kemakrufan sebagai gantinya sehingga kemungkaran benar-benar lenyap dan kemakrufan benar-benar terwujud dan tegak secara kokoh. Dengan demikian dakwah pada dasarnya adalah al-taghyir al-mungkar, yakni menghilangkan suatu keadaan yang buruk sambil diikuti oleh aktivitas mewujudkan suatu keadaan yang baru guna mengganti sesuatu yang dihilangkan tadi.
Pengertian “usaha mengubah keadaan” menunjukan bahwa dakwah bukan sekedar seruan kepada orang untuk berbuat kebaikan saja, melainkan harus disertai keharusan terjadinya perubahan pada objek yang diseru (mad’u). Sedangkan makna “keadaan rusak, yang tidak islami” bermakna bahwa kerusakan itu dikarenakan tidak sesuai dengan islam. Dari sini islam menjadi standar dalam menilai baik dan buruknya suatu keadaan. Keadaan sendiri meliputi seluruh aspek kehidupan baik individu, keluarga, sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum, pendidikan, dan sebagainya. Adapun makna “menjadi baik sesuai islam” adalah tujuan sekaligus sifat dari perubahan itu, sehingga perubahan yang diciptakan oleh dakwah ini menjadi unik.
Dakwah dalam makna “perubahan” ini sangat relevan dengan rangkaian sejarah kehadiran para nabi dan rasul sebagai para pengemban dakwah yang pertama dan utama. Mereka diutus untuk berdakwah kepada masyarakat yang saat itu kondisi sosilogisnya sedang mengalami dehumanisasi ataupun demoralisasi. Nabi Luth a.s. hadir dengan dakwahnya ketika masyarakatnya tengah mengalami amoralisasi berupa prilaku homoseks dan lesbian. Nabi Hud a.s berdakwah ditengah-tengah arogansi kaumnya akibat kemampuan akalnya yang dapat menciptakan peradaban dan kebudayaan tinggi sehingga mereka dikenal sebagai bangsa jabbarin (arogan); yang menindas bangsa-bangsa lain secara kejam dan licik (Qs. Asy-Syuara [26] :128-130). Begitu pua dengan Nabi Muhammad saw., sebagai utusan Allah yang terakhir, diutus untuk mengubah masyarakat yang kondisi sosial-budaya-agamanya tidak jauh berbeda dengan masyarakat yang dihadapi oleh nabi dan rasul-rasul sebelumnya (jahiliyah).
Kenyataan tersebut menunjukan bahwa hakekat dari dakwah adalah pembebasan, penyelamatan dan perubahan secara sistematis dari suatu kondisi yang rusak menuju kondisi yang baik yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan, yakni sebagai abid (hamba) dan bukan sebagai ma’bud (pihak yang disembah/Tuhan). Dalam konteks definisi yang satu ini, dakwah dapat disebut sebagai sebuah social engineering (rekayasa sosial); yakni perubahan sosial menuju suatu tatanan dan sistem baru sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh sang perekayasa (social engineer).
a. Definisi lain mengenai dakwah yang cukup intergral dikemukakan oleh Syukriadi Sambas, dimana dakwah dinyatakan sebagai perilaku keberagamaan Islam berupa internalisasi, transmisi, difusi dan transformasi ajaran Islam yang dalam prosesnya melibatkan unsur subyek (da’i), pesan (maudhu’), metode (uslub), media (wasilah) dan obyek (mad’u) yang berlangsung dalam rentangan dan waktu, untuk mewujudkan perilaku individu dan kelompok yang salam, hasanah, thayyibah, dan memperoleh ridho Allah.

Read More......
Template by : Kendhin x-template.blogspot.com